PROSEDUR BERPERKARA
PADA PENGADILAN AGAMA SOASIO
A. PENDAFTARAN BERPERKARA
- Pihak yang berperkara dating ke Pengadilan Agama Soasio dengan membawa surat gugatan / permohonan.
- Pihak yang berpekara menghadap kepada petugas meja I dan menyerahkan surat gugatan / permohonan sebanyak jumlah pihak di tambah 3 (tiga) rangkap termasuk asli untuk majelis Hakim.
- Petugas meja I dapat memberikan penjelasan yang di anggap perlu berkenaan dengan perkara yang di ajukan, dan menerima gugatan / permohonan tersebut kemudian :
- Menaksir besarnya panjar biaya perkara yang harus di bayar dan di tulis dalam SKUM ( Surat Kuasa Untuk Membayar ).
- Menyerahkan kembali surat gugatan / permohonan kepada pihak yang berperkara serta SKUM dalam rangkpa 4 ( empat ) :
a. Lembar pertama warna hijau untuk Bank.
b. Lembar kedua warna putih untuk penggugat / pemohon.
c. Lembar ketiga warna merah untuk kasir.
d. Lembar keempat warna kuning untuk dilampirkan dalam berkas.
- Pihak yang berperkara datag ke loket layanan BRI Unit Masrum dan mengisi slip penyetoran panjar biaya perkara sesuai yang tertera dalam SKUM dan menyetorklan uang panjar biaya perkara tersebut.
- Setelah pihak yang berperkara menerima slip penyetoran uang yang telah divalidasi oleh petugas layanan Bank, menyerahkan slip penyetoran tersebut, SKUM dan surat gugatan / permohonan kepada kasir pada Pengadilan Agama Soasio.
- Kasir melaksanakn tugas :
- - Mencatat panjar biaya perkara tersebut ke dalam jurnal keuangan perkara.
- - Menandatangani dan member cap lunas dalam SKUM.
- - Membubuhkan nomor perkara dan dan tanggal penerimaan perkara dalam SKUM dan dalam surat gugatan / permohonan sesuai dengan nomor dan tanggal saat pencatatan dalam jurnal keuangan perkara.
- - Menyerahkan kembali kepada pihak yang berperkara asli SKUM serta satu salinan surat gugatan / permohonan yang diberi nomor perkara dan tanggal pendaftaran.
B. KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA
Wewenang Pengadilan Agama berdasarkan penjelasan pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah :
A. Perkawinan
Dalam perkawinan, wewenang Pengadilan Agama diatur dalam atau berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain:
- Ijin beristeri lebih dari seorang;
- Ijin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun dalam hal orang tua, wali, atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
- Dispensasi kawin;
- Pencegahan perkawinan;
- Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
- Pembatalan perkawinan;
- Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;
- Perceraian karena talak;
- Gugatan perceraian;
- Penyelesaian harta bersama;
- Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak memenuhinya;
- Penguasaan anak-anak;
- Penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas isteri;
- Putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
- Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
- Pencabutan kekuasaan wali;
- Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut;
- Penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya, padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya;
- Pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang ada di bawah kekuasaannya;
- Penetapan asal usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam;
- Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campur; dan
- Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
B. Waris
Dalam perkara waris, yang menjadi tugas dan wewenang Pengadilan Agama disebutkan berdasarkan penjelasan Pasal 49 huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama adalah sebagai berikut:
- Penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris;
- Penentuan mengenai harta peninggalan;
- Penentuan bagian masing-masing ahli waris;
- Melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut;
- Penetapan Pengadilan atas permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, dan penentuan bagian-bagiannya.
Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama terdapat kalimat yang berbunyi: “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang dipergunakan dalam pembagian warisan”. Kini, dengan adanya amandemen terhadap Undang-Undang tersebut, kalimat itu dinyatakan dihapus. Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dijelaskan, bilamana pewarisan itu dilakukan berdasarkan hukum Islam, maka penyelesaiannya dilaksanakan oleh Pengadilan Agama. Selanjutnya dikemukakan pula mengenai keseragaman kekuasaan Pengadilan Agama di seluruh wilayah nusantara yang selama ini berbeda satu sama lain, karena perbedaan dasar hukumnya.
Selain dari itu, berdasarkan pasal 107 Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama juga diberi tugas dan wewenang untuk menyelesaikan permohonan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang agama yang beragama Islam yang dilakukan berdasarkan hukum Islam.
C. Wasiat
Mengenai wasiat, wewenang Pengadilan Agama diatur dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Peradilan Agama dijelaskan bahwa definisi wasiat adalah: “Perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut meninggal dunia.” Namun, Undang-Undang tersebut tidak mengatur lebih jauh tentang wasiat. Ketentuan lebih detail diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dalam KHI, wasiat ditempatkan pada bab V, dan diatur melalui 16 pasal.
Ketentuan mendasar yang diatur di dalamnya adalah tentang: syarat orang membuat wasiat, harta benda yang diwasiatkan, kapan wasiat mulai berlaku, di mana wasiat dilakukan, seberapa banyak maksimal wasiat dapat diberikan, bagaimana kedudukan wasiat kepada ahli waris, dalam wasiat harus disebut dengan jelas siapa yang akan menerima harta benda wasiat, kapan wasiat batal, wasiat mengenai hasil investasi, pencabutan wasiat, bagaimana jika harta wasiat menyusut, wasiat melebihi sepertiga sedang ahli waris tidak setuju, di mana surat wasiat disimpan, bagaimana jika wasiat dicabut, bagaimana jika pewasiat meninggal dunia, wasiat dalam kondisi perang, wasiat dalam perjalanan, kepada siapa tidak diperbolehkan wasiat, bagi siapa wasiat tidak berlaku, wasiat wajibah bagi orang tua angkat dan besarnya, dan wasiat wajibah bagi anak angkat serta besarnya.
D. Hibah
Penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 memberikan definisi tentang hibah sebagai: “pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.”
Hibah juga tidak diregulasi secara rinci dalam Undang-Undang a quo. Ia secara garis besar diatur dalam KHI, dengan menempati bab VI, dan hanya diatur dalam lima pasal. Secara garis besar pasal-pasal ini berisi: Subjek hukum hibah, besarnya hibah, di mana hibah dilakukan, harta benda yang dihibahkan, hibah orang tua kepada anak, kapan hibah harus mendapat persetujuan ahli waris, dan hibah yang dilakukan di luar wilayah Republik Indonesia.
E. Wakaf
Wakaf dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dimaknai sebagai: “perbuatan seseorang atau sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.” Tentang wakaf ini tidak dijelaskan secara rinci dalam Undang-Undang ini.
Ketentuan lebih luas tercantum dalam KHI, Buku III, Bab I hingga Bab V, yang mencakup 14 pasal. Pasal-pasal tersebut mengatur: Ketentuan umum, yaitu definisi wakaf, wakif, ikrar, benda wakaf, nadzir, Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf; fungsi wakaf; subjek hukum yang dapat mewakafkan harta bendanya; syarat benda wakaf; prosedur mewakafkan; syarat-syarat nadzir; kewajiban dan hak-hak nadzir; pendaftaran benda wakaf; perubahan, penyelesaian dan pengawasan benda wakaf. Khusus mengenai perwakafan tanah milik, KHI tidak mengaturnya. Ia telah diregulasi empat tahun sebelumnya dalam Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1977, lembaran negara No. 38 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
F. Zakat
Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorag Muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang Muslim sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. KHI tidak menyinggung pengaturan zakat.
Regulasi mengenai zakat telah diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 Lembaran Negara Nomor 164 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Secara garis besar, isi Undang-Undang ini adalah: Pemerintah memandang perlu untuk campur tangan dalam bidang zakat, yang mencakup: perlindungan, pembinaan, dan pelayanan kepada muzakki, mustahiq dan amil zakat; tujuan pengelolaan zakat; organisasi pengelolaan zakat; pengumpulan zakat; pendayagunaan zakat; pengawasan pengelolaan zakat; dan sanksi terhadap pelanggaran regulasi pengelolaan zakat.
G. Infaq
Infaq dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 diartikan dengan: “perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rizqi (karunia), atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlash, dan karena Allah Subhanahu Wata’ala.”
Kewenangan Pengadilan Agama ini belum pernah diatur secara tersendiri dalam bentuk peraturan perundang-undangan, dan dalam Undang-Undang ini juga tak diatur lebih lanjut.
H. Shadaqah
Mengenai shadaqah diartikan sebagai: “Perbuatan seseorang memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan mengharap ridha Allah dan pahala semata.”
Sama seperti infaq, shadaqah juga tidak diatur dalam regulasi khusus. Dan hingga kini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya.
I. Ekonomi Syari’ah
Ekonomi syari’ah diartikan dengan: “Perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah.” Kewenangan itu antara lain :
- Bank Syari’ah;
- Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah;
- Asuransi Syari’ah;
- Reasuransi Syari’ah;
- Reksadana Syari’ah;
- Obligasi Syari’ah dan Surat Berharga Berjangka Menengah Syari’ah;
- Sekuritas Syari’ah;
- Pembiayaan Syari’ah;
- Pegadaian Syari’ah;
- Dana Pensiun Lembaga Keuangan Syari’ah; dan
- Bisnis Syari’ah
C. PELAKSANAAN PERSIDANGAN DAN PENYELESAIAN PERKARA
- Para pihak yang berperkara akan di panggil oleh Jurusita Pengganti ( paling lambat 30 hari ( tiga puluh ) hari sejak pendaftaran ) untuk dating menghadiri persidangan, setelah di tetapkan susuna Majelis Hakim dan hari sidangnya.
- Para pihak yang berperkara menghadiri persidangan sesuai dengan panggilan siding dan menyampaikan bukti yang diperlukan untuk meneguhkan dalil gugatan / permohonan dan bantahannya.
- Setelah Majelis Hakim membacakan putusannya dalam siding yang terbuka untuk umum, ketua majelis menyampaikan kepada penggugat / pemohon untuk menghadap kasir guna mengecek panjar biaya perkara yang telah di bayarkan, serta mengambil kembali apabila ada sisanya.
- Apabila penggugat / pemohon tidak hadir dalam siding pembacaan putusan atau tidak mengambil sisa panjarnya pada hari itu, maka Panitera akan memberitahukan surat adanya sisa panjar yang belum di ambil.
- Teradap putusan yang di jatuhkan, para pihak dapat mengajukan upaya hokum banding, dalam tengtgat waktun 14 ( empat belas ) hari setelah putusan di jatuhkan, atau 14 ( empat belas ) hari setelah pemberitahuan amar putusan disampaikan apabila pihak tidak hadir saat putusan di jatuhkan.
- Pengadilan wajib menyampaikan salinan putusan kepada pihak dalam jangka waktu paling lambat 14 ( empat belas ) hari kerja sejak putusan di ucapkan.
- Khusus untuk perkara perceraian :
- Dalam Perkara cerai gugat, setelah putusan berkekuatan hokum tetap, Panitera memberitahukan kepada para pihak bahwa putusan tersebut telah berkekuatan hokum tetap.
- Dalam perkara cerai talak, penetapan ikrar talak berkekuatan hokum tetap pada saat penetapan itu di terapkan.
- Panitera berkewajiban memberikan Akta Cerai kepada para pihak selambat – lambatnya 7 ( tujuh ) hari terhitung setelah putusan berkekuatan hokum tetap, khusus untuk cerai talak 7 ( tujuh ) hari setelah ikrar talak di ucapkan.