- Dipublikasikan Pada : Kamis, 29 Juli 2021
- Dibaca : 5250 Kali
Siaran Pers Nomor: B-265/SETMEN/HM.02.04/07/2021
Jakarta (29/7) – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) memberikan perhatian khusus pada kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang terus meningkat di mana korbannya paling banyak menimpa perempuan dan anak. Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Ratna Susianawati pada peringatan Hari Dunia Anti Perdagangan Orang menyebutkan bahwa isu TPPO harus menjadi perhatian bersama.
“Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) tahun 2020, kasus TPPO pada perempuan dan anak mengalami peningkatan hingga 62,5 persen. Sementara itu, laporan lima tahunan Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Tindak Pidana Perdagangan Orang (GTPP-TPPO) pada tahun 2015-2019 menunjukkan, terdapat 2648 korban perdagangan orang yang terdiri dari 2319 perempuan dan 329 laki-laki. Angka ini menunjukkan, kasus TPPO semakin meningkat dan perempuan banyak yang menjadi korbannya. Untuk itu, Hari Dunia Anti Perdagangan Orang mengingatkan kita bahwa isu TPPO harus menjadi perhatian semua pihak, mulai dari pemerintah, dunia usaha, media, organisasi, lembaga masyarakat, serta seluruh masyarakat,” ujar Ratna dalam Webinar Penegakan Hukum TPPO 2021, secara virtual, Kamis (29/7).
Pemerintah Indonesia telah berkomitmen dan melakukan langkah penanganan TPPO, salah satunya adalah pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan TPPO yang salah satunya mengamanatkan pembentukan GTPP-TPPO. "Hingga saat ini telah terbentuk sebanyak 32 Gugus Tugas Provinsi dan 245 Gugus Tugas Kabupaten/Kota. Berbagai upaya pencegahan terjadinya TPPO terus dilakukan baik melalui sosialisasi, edukasi, literasi dan penyadaran sosial agar masyarakat tidak menjadi korban,” lanjut Ratna.
Sementara itu, Asisten Deputi Penanganan Kejahatan Transnasional dan Kejahatan Luar Biasa Kementerian Politik Hukum dan Keamanan, Bambang Pristiwanto mengatakan, data International Organisation for Migration (IOM) Indonesia menunjukkan jumlah kasus TPPO pada tahun 2020 atau masa pandemi Covid-19 meningkat menjadi 154 kasus. Sementara itu, berdasarkan catatan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), jumlah permohonan perlindungan saksi TPPO di LPSK mengalami peningkatan sebesar 15,3 persen pada 2020.
“Dengan kondisi kasus TPPO di Indonesia yang memprihatinkan tersebut, perlu meningkatkan penegakan hukum yang memberikan efek jera serta memperkuat peran seluruh pihak, baik pemerintah, lembaga, kepolisian, swasta, dan masyarakat untuk memperkuat komitmen bersama dan bersinergi melawan sindikat perdagangan orang dan mengakhiri perdagangan orang di Indonesia,” ujar Bambang.
Hal ini disepakati oleh Direktur Tindak Pidana Terorisme dan Lintas Negara Kejaksaan Agung, Idianto. Menurutnya, perlu adanya kepastian hukum serta keadilan manfaat dalam penanganan kasus TPPO. “Jangan sampai sekadar menghukum, tapi hanya sebagian saja. Tidak membuat jera para pelakunya. Seharusnya kita tidak hanya menghukum orang-orang yang melakukan perekrutan di lapangan. Supaya jera dan terhenti kegiatan TPPO ini, ke depan korporasinya yang kita usut,” ujarnya.
Lebih lanjut, Idianto menuturkan, TPPO merupakan fenomena gunung es. Pasalnya, kasus yang terungkap di persidangan lebih sedikit daripada kasus yang terjadi di masyarakat. Berdasarkan data Penyusunan Program, Laporan, dan Penilaian-Pidana Umum Kejaksaan Republik Indonesia Tahun 2021, jumlah perkara TPPO mengalami penurunan setiap tahunnya. “Banyak korban yang tidak mengerti hukum, tidak mengetahui jalur pelaporan, serta merasa takut dan merasa terancam,” imbuhnya.
Terlebih menurut Idianto, aparat penegak hukum pada umumnya lebih memilih untuk menggunakan UU Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI) dibandingkan UU 21 Tahun 2007. “UU Tentang PPMI ini lebih gampang membuktikannya, tetapi ancamannya juga lebih ringan dibandingkan dengan UU Pemberantasan TPPO,” ungkap Idianto.
Salah satu lembaga yang melakukan pendampingan terhadap korban TPPO adalah LPSK. Wakil Ketua LPSK, Livia Iskandar menyebutkan, terlindung yang ditangani oleh LPSK bisa mendapatkan perlindungan fisik, pemenuhan hak prosedural (pendampingan), perlindungan hukum, fasilitasi ganti rugi, dan lain sebagainya. “Korban, saksi, saksi pelaku, atau masyarakat dapat melapor melalui aplikasi Permohonan Perlindungan LPSK atau lewat Whatsapp, serta media sosial lainnya,” tutup Livia.
BIRO HUKUM DAN HUMAS
KEMENTERIAN PEMBERDAYAAN PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK
Telp.& Fax (021) 3448510,
e-mail : This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.